Dalam Menafsirkan Al-Quran, Fungsi Akal Terbatas

Untuk memahami kandungan dan maksud-maksud ayat al-Quran, diperlukan
penafsiran oleh orang yang memenuhi kualifikasi. Meski kualifikasi itu tidak
mutlak, namun para ulama tafsir menetapkan syarat-syarat yang sangat ketat
sehingga tidak semua orang dapat menafsirkan al-Quran.

Perbedaan produk tafsir selain karena kompetensi, juga karena berbeda dalam menggunakan metode tafsir. Dalam menafsirkan suatu ayat, peran akal terbatas. Akal
berfungsi mencari ayat lain atau hadits yang membicarakan suatu masalah.
Berikut petikan wawancara Tim Reportase CMM bersama Dr. Isnawati Rais, dosen
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi
oleh seorang mufasir dan masalah-masalah seputar penafsiran al-Quran:

*Adakah syarat-syarat seseorang menjadi mufassir?*
Pertama, kelayakan untuk menafsir yang meliputi: akidah yang kokoh, niat
yang ikhlas, menguasai ilmu-ilmu Alquran, sunnnah Nabi, ilmu alat, seperti
bahasa Arab dan ilmu yang terkait dengan ayat yang ditafsirkan, misalnya
kalau menafsirkan ayat hukum harus ahli ilmu ushul fikih dan lain
sebagainya. Kedua, prosedur penafsiran. Terlebih dahulu menafsirkan ayat
dengan ayat dan menafsirkan ayat dengan hadits. Ketiga, larangan Nabi
Muhammad menafsirkan ayat Alquran dengan akal. Nabi bersabda, man fassaral
qur’an bi ra’yihi fal yatabawwa’ maq’adahu minan nar; barang siapa yang
menafsirkan Alquran dengan semata-mata dengan akal (logika), dia akan
mengambil tempatnya di neraka.

*Kenapa tidak boleh menafsirkan Alquran dengan akal atau logika?*
Karena kebesaran Allah dan kemahatahuan Allah tidak akan bisa dijangkau oleh
semata akal manusia yang terbatas. Allah berfirman, “kalian tidak diberi
ilmu pengetahuan kecuali sedikit” (QS al-Isra’ [17]: 85).

*Lalu, apa peran akal dalam menafsirkan Alquran?*
Akal berfungsi mencari ayat lain atau hadits yang lain yang membicarakan
suatu masalah. Mencari ayat yang dijelaskan oleh ayat lain, didukung oleh
sebuah hadits, atau dijelaskan oleh prinsip atau tujuan umum dari penetapan
syariah. Tujuan penetapan hukum dalam Alquran biasanya disebut sebagai
maqashidus syariah; tujuan dari penetapan hukum oleh Allah. Tujuan syariah
adalah lil mashlahatil ‘ammah (untuk kebaikan umum) sesuai yang dikehendaki
Allah. (maqashidus syariah meliputi lima hal, yaitu menjaga agama, jiwa,
akal, harta dan keturunan).

*Ketika ada seseorang yang mempunyai kualifikasi untuk menafsirkan Alquran,
kemudian ia menulis sebuah kitab tafsir, siapa yang berhak memeriksa dan
menetapkan bahwa kitab tafsirnya layak untuk diedarkan?*
Apabila telah memenuhi prosedur yang tadi saya sebutkan, tentu ahli-ahli
lain akan memberikan komentar, masukan, dan kritikan untuk perbaikan,
menyetujui, atau memberikan koreksi.

*Apakah penetapan layak tidaknya sebuah penafsiran ditentukan oleh sebuah
lembaga atau oleh pribadi-pribadi?*
Bisa lembaga, seperti MUI (Majelis Ulama Indonesia) kalau di Indonesia atau
lembaga-lembaga keagamaan lainnya yang berkompeten. Bisa juga individu yang
dianggap lebih tahu dan lebih ahli dalam bidang itu.

*Ada sekelompok orang yang melegitimasi tindak kekerasan yang dilakukannya
dengan ayat-ayat Alquran yang diberi nama ayat-ayat saif (pedang). Bagaimana
menafsirkan ayat-ayat saif ini dalam zaman sekarang?*
Kita harus sadar, bahwa jihad dalam arti sempit bermakna perang. Tapi jihad
dalam arti luas adalah bersungguh-sungguh menegakkan agama Allah. Jadi,
jihad tidak selalu bermakna perang. Jihad juga bisa menggunakan pemikiran,
pendidikan, politik, ekonomi dan lain sebagainya. Jihad tidak selalu
bermakna memegang senjata.(*CMM*)
Kiriman : lasykarlima@gmail.com

Posted by Situs Bungo on 08.51. Filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0

0 komentar for “Dalam Menafsirkan Al-Quran, Fungsi Akal Terbatas”

Leave comment

Recent Entries

Recent Comments

Photo Gallery