Perjalanan Religi Sang Guru
Dia adalah Muhammad Abu abdilah Bin Idris Bin Abbas Bin Utsman Bin syafi’ Bin Saib Bin Ubaid Bin Yazid Bin Hasyim Bin Muthalib kakek dari kakek Nabi Muhammad Saw, nasabnya setelah Manaf adalah keluarga Rasulullah Saw, beliau lebih di kenal dunia dengan sebutan imam As-Syafi’i.
Perjalanan perdana imam As-Syafi’i dimulai ketika beliau baru berumur dua tahun, adapun kota pertama yang beliau tuju adalah kampung halaman Rasulullah Saw yaitu Mekkah Al-Mukarromah. Ketika sampainya di sana, ia melihat di sekeliling ka’bah para Ulama fiqih, Ulama hadits, orang-orang yang ikut nimbrung mendengarkan pengajian, terdiri dari para pengajar dan pelajar, kemudian ia langsung mengambil posisi yang sama mulianya dengan nasab beliau sebagai seorang anak paman Rasulullah Saw. Begitu juga ibunya pernah berpesan persis sebelum keberangkatan sang imam ke kota Mekkah tentang keturunan mereka, yang pada masa itu memiliki tempat terpandang di mata masyarkat arab, “kamu semestinya seperti keluarga mu, sesungguhnya aku khawatir keturunanmu terkalahkan”. (adab syafi’I wa munaqobah li rozi.hal 21). Pengembaraan si Syafi’i kecil adalah amanat yang mesti ia emban dari ibunya sendiri, agar bisa belajar dengan tekun bersama para pengajar, namun demikian kepergianya hanya berbekal niat yang tulus dan azam yang kuat, dan tidak memiliki banyak bekal, sehingga beliau tidak bisa memberikan apa-apa kepada gurunya sebagai tanda terima kasih, tetapi setelah sang guru melihat sendiri bagaimana kehebatan imam As-Syafi’I dalam menghafal, membuatnya ridha dengan apa yang telah ia ajarkan, seolah sang guru menganggap ketangkasan As-Syafi’i dalam belajar adalah upah pengajaranya. Berkata As-Syafi’i : “ketika aku berada di dekat guru, aku mendengar beliau membacakan seorang bocah ayat Al-Quran, di saat bersamaan aku berupaya untuk mengahafal ayat tersebut…akupun hafal seluruh ayat tersebut secara keseluruhan, setelah itu si guru berkata kepadaku “sesungguhnya tidak pantas bagi mengambil sepersen pun dari mu”. Begitu simpatinya si guru terhadap beliau, di sebabkan oleh kepintaran dan ahklak mulianya yang santun. Setelah belajar Al-Quran biasanya beliau langsung menuju ke Masjidil Haram untuk berdiskusi seputar fiqih dan hadits. Dan beliau menjadikan kulit hewan, pelepah kurma dan punggung onta sebagai sarana menulis pelajaran. Sampai pada umur tujuh tahun beliau telah hafal Al-Quran, dan pada umur dua puluh tahun sebelum berangkat menuju kota Madinah untuk belajar kitab muwatho’ kepada imam malik beliau telah menghafalnya terlebih dahulu. (subhanallah).
Merasa kurang akan ilmu yang telah di pelajari, beliaupun berkeinginan untuk menguasai ilmu bahasa plus sastranya, metode yang ia pakai untuk menguasai ilmu tersebut adalah dengan tinggal langsung di Badiah, konon ketika itu terkenal dengan kefasehan bahasa dan banyak terkumpulnya syair-syair yang memiliki nilai sastra tinggi. Di dalam mu’jam udaba’ masih tersimpan ucapan yang pernah di sampaikan oleh imam, “saya telah hafal Al-Quran pada umur tujuh tahun, dan telah menguasai kitab muwatho’, kemudian setelah itu saya bermukim di pusat tanah Arab untuk mempelajari bahasa mereka, hingga pada ahkirnya saya faham setiap kalimat yang di baca”.
Beberapa lama setelah tinggal di Badiah beliau kembali lagi ke Mekkah, di sana ia masih melanjutkan pembelajaran, Syeihk muslim bin Khalid al-zanji memuji imam Syafi’i “sungguuh Allah telah memuliaknmu di dunia dan ahkirat, kefahaman mu terhadap ilmu fiqih, adalah kebaikan untukmu”.
Tidak sebatas ilmu-ilmu agama yang beliau pelajari, memanah dan menunggang kuda pun tidak ketinggalan, sehinga beliau terkenal sebagai orang yang selalu tepat sasaran dalam memanah, peristiwa ini bukanlah kegiatan untuk mengisi waktu luang, namun ini semua terancang dari program syar’i yang termaktub di dalam Al-Quran sebagai bentuk aplikasi talaqqi beliau selama ini.
وأعدوا لهم مااستطعتم من قوة, ومن رباط الخيل ترهبون به عدّو الله وعدوّكم
Penguasaan yang mantap dari apa yang telah di pelajari selama ini memberikan kesan tersendiri di tengah-tengah kalangan ulama Mekkah , hingga mereka mengeluarkan sebuah qoror buat imam As-Syafi’i bahwa ia telah bisa mengeluarkan fatwa. Bagi imam syafi’i ini bukanlah sesuatu yang perlu dibangga-banggakan, bahkan ia merasa terjebak di sebuah ruangan sempit untuk menuntut ilmu karena qoror tadi membuat seolah-olah tidak ada lagi orang yang bisa digurukan. Dari mekkah beliau hijrah ke Madinah, keberangkatannya ke sana tidak lain untuk menambah dan menimba ilmu serta memperdalam kitab muwatho’ langsung bersama pengarangnya yaitu imam malik rahimahullah.
Rute pengembaraan imam Syafi’I hampir menyamai hijrahnya Rasulullah, dari Mekah ke Madinah lalu kembali ke Mekkah, begitu juga sang imam setelah beberapa lama di Madinah ia kembali ke Mekkah. Dari Mekah terus lanjut ke Yaman, lalu Irak, kembali ke Irak, ke Mekkah lagi, ke Irak lagi, akhirnya beliau memilih tempat hijrah terahkirnya yaitu Negri Al-Azhar El-Syarif negrinya masisir sekarang ini, ampai pada ahkirya beliau syahid fi sabililah. Begitu lah perjalanan religi beliau yang amat sangat berkesan, penyebab pertama beliau menjadi manusia tahan uji, tegar melangkah jauh yaitu bimbingan dan motivasi orang tua sejak dini. (diberagkatkan ke Mekkah sejak umur 2 tahun). Yang kedua kecintaannya terhadap ilmu. Dan ketiga, yang terpenting adalah niat karena Allah Swt.
Ditulis oleh : Abdurrahman Yusak